Puskesmas Keliling Kami
Diawal kakiku bertapak di tanah adat Papua, langit terasa
dekat sekali diatas kepalaku kala kutengadahkan wajahku ke atas. Suara binatang
bersahut-sahutan, menggema seisi hutan. Awalnya aku takut, namun sudah satu
tahun menghirup aroma hutan Papua dan menyatu dengan kehidupan disini, tak ada
lagi rasa takutku. Malah mungkin nanti menjadi rindu yang teramat akan hening
dan bersahajanya tempat tinggalku disini.
Jika siang, tak akan ada ramainya kampung ini. Sepi. Hanya
kadang suara anjing yang bersahut-sahutan. Di awal kedatanganku, aku mencoba menelusuri jalan kampung, mencoba
kepo dengan kebiasaan-kebiasaan yang
ada. Namun, anjing-anjing ini seolah ingin menerkamku, pernah hampir
benar-benar diterkam. Terpelosok kebawah jurang yang untungnya tak dalam karena
menghindari kejaran anjing warga yang mungkin hidungnya masih baru mengenal bau
kami. Tapi syukur , akhirnya anjing itu berlalu pergi karena aku dan temanku
terpelosok kebawah, kalau tidak, huh..
entahlah.
Semua warga berada didalam hutan, mencari hasil alam yang
dapat diubah menjadi bahan pangan. Ada juga anak-anak yang mencari kayu kering
di hutan untuk dijadikan kayu bakar untuk tungku yang mereka buat di dalam
rumah. Tungku ini mengeluarkan banyak sekali asap yang mengepul-ngepul di dalam
rumah. Dan semua warga disini punya kebiasaan yang sama. Tungku yang dibuat
ditengah-tengah rumah ini, masih baik jika tidak ada orang yang tinggal dirumah
ketika ibu-ibu mulai memasak.
Namun, malah
pernah saya jumpai ketika home visit, bayi yang di kerebungi asap. Walaaah!!! Saya langsung panik. Ternyata
warga kebanyakan tidak tahu efek kebiasaan membuat tungku didalam rumah dapat
merusak sitem pernafasan karena asap yang dihasilkan dari pembakaran itu.
Akhirnya terjawab sudah, mengapa semua anak di kampung ini “ingusan” atau bahasa lainnyanya “pilek”.Ini sempat menjadi tanya dalam hati, anak-anak ini mungkin
banyak terganggu sistem pernafasannya. Perlahan, kami mencoba mengingatkan
setiap keluarga yang kami kunjungi bahwa kebiasaan tungku yang dibuat
ditengah-tengah rumah itu, dapat mengganggu kesehatan mereka. Syukur mereka
menyadarinya karena contoh anak yang “ingusan”
ini real dan mereka pun ternyata mengeluhkan pula tentang anak yang
sering “ingusan” di kampung ini.
Jika petang hari, kampung ini mulai ramai. Warga sudah
kembali kerumah setelah seharian “mengolah hutan” yang biasa mereka sebut
kebun. Terlihat ibu-ibu yang dengan manik keringat dan senyum diwajahnya
mengangkat tumpukan kayu kering di atas kepalanya, anak-anak yang mengangkat
air, serta bapak-bapak yang dengan parang, katanya “habis babat-babat kebun, suster”.
Disini sumber air susah dijangkau, jauh dari tengah
kampung. Kami biasa mengambil air harus masuk kedalam hutan dan turun kebawah
jurang yang bisa dibilang tak dangkal. Itu hanya untuk air minum dan untuk
memasak nasi. Biasa kami dibantu oleh seorang pemuda yang sering “bantu-bantu” di puskesmas, Felix namanya. Dengan beko, kami
bantu mendorong masuk kedalam hutan. Kadang jika terlalu larut, kami hanya
menunggu di pinggir hutan. Karena biasa, banyak babi liar di hutan yang jika
menyerang bukan main.
Sudah beberapa kali selama penugasan mendapati pasien emergency yang diserang babi hutan,
salah satunya seorang bapak tua yang berhasil melawan serangan babi hutan meski
sudah babak belur. Awalnya bapak tua ini berniat memburu babi hutan untuk
pangan. Alhasil tak dapat babi hutan, malah bapak tua ini mendapat luka serius
disekujur tubuh karena babi balik serang dengan taringnya yang tajam sehingga
daging terabik bercecer sana sini.
Sering juga pasien luka potong terkena parang saat berkebun
di dalam hutan. Suatu ketika Tuan Dusun (Tuan Tanah) tepat dibagian kaki
terdapat luka potong yang bisa dikatakan cukup dalam. Tenaga medis langsung
mengambil tindakan untuk melakukan tindakan jahit. Sedikit mengalami kesulitan ketika akan menyatukan dua sisi
daging untu dijahit, kulit kakinya terlalu keras, sudah beberapa kali mencoba
tapi tetap saja beberapa kali pula jarum untuk menjahit nyaris bengkok. Akhirnya kita meminta bantuan
petugas medis dari tentara satuan tugas perbatasan RI-PNG. Sudah beberapa lama
akhirnya selesai. Ternyata, diamati lagi, perdarahan tak kunjung berhenti. Dari
kasa yang dililitkan, tampak darah mulai menyucur kembali. Curiga kalau
pembuluh darah arteri ikut terpotong. Tanpa berlama-lama, kita mulai pontang-panting mencari kendaraan untuk
merujuk pasien ke Rumah sakit bergerak di distrik tetangga.
Jalanan yang susah di jangkau, jika hujan malah makin
parah. Membuat kesulitan untuk akses keluar masuk kendaraan. Ditambah lagi tidak
adanya sinyal jaringan telpon di kampung ini. Jika ada emergency yang harus dirujuk dengan menggunakan ambulance, kami harus meminta bantuan kepada TNI Satgas
Pamtas RI-PNG untuk voice jalur
pemancar radio militer untuk pengiriman ambulance
dari RSB ke puskesmas Kombut.
Beginilah bertugas di daerah hutan dengan segala keterbatasan yang ada.
Baru-baru ini, puskesmas Kombut mendapat bantuan mobil ambulance dari Dinas Kabupaten Boven Digooel. Tapi sayang, malah
kita lebih baik memilih tidak menggunakannya di medan yang rusak. Tak jarang ambulance tertanam di kubangan lumpur yang dalam, bahkan
harus berjaga-jaga jika melewati jembatan-jembatan kayu yang sudah melapuk.
Sudah beberapa kali mobil rusak dan harus bermalam di hutan. Maka, kami memilih
untuk merujuk dengan menggunakan motor.
Motor yang disediakan dari dinas setempat untuk puskesmas
kombut terdiri dari 2 motor dan 1 dari BKKBN. Namun, satu motor (KLX) sudah
terbakar di insiden kebakaran sebuah bengkel dan satu lagi (YT) nyaris sering
rusak karena motornya yang sudah tua. Hanya tersisa motor yang dipakai untuk
segala keperluan puskemas induk dan tiga puskesmas pembantu (pustu) di
kampung-kampung lain wilayah kerja puskesmas kombut yang jaraknya cukup
berjauhan. Kadang, jika tidak ada motor, kita memilih untuk berjalan kaki untuk
melakukan pelayanan di kampung-kampung lainnya. Yang paling dekat ialah kampung
mokbiran. Biasa kami berjalan dari pukul 09.00 hingga 14.00 WIT. Dibawah
teriknya matahari menelusuri jalanan hutan. Tak jarang kadang tak sengaja ular
melintas didepan kami. Pemandangan yang sudah biasa. Tapi, tetap masih
menakutkan.
Apalagi dibelakang barak puskesmas kami, adalah hutan.
Pernah saat malam teman-teman tim sedang duduk masing-masing dengan laptop dan
fokus kepada laporannya. Tiba-tiba seekor ular yang cukup besar jatuh dari
langit-langit atap rumah dan langsung meninggikan kepalanya ditengah-tengah
mereka. Saat itu aku sedang berada di dalam kamar dengan badan yang kurang
sehat. Semua berlonjak lari ke arahku di dalam kamar dan aku terkejut seketika
ketika mereka semua histeris dengan wajah yang pucat meneriakkan ular. Saya pun
saat itu mendadak merasa jantungku berhenti.
Kembali lagi ke topik puskesmas keliling kami. Dengan
perjalan yang panjang, kita hanya beristirahat sejenak untuk melanjutkan
perjalanan ke kampuang Amuan dengan menumpang diatas truk proyek jalan.
Wuaah... aku serasa sudah kehilangan
feminisme-ku. Memanjat truk yang berisi semen dengan laju truk yang sangat
kencang, membuat seluruh pakaian kami berwarna putih. Sudah bermandikan semen.
Kami hanya menertawakan diri satu sama lain. Meski lelah.
Sesampai disimpang amuan, kurang lebih harus berjalan kaki
lagi 20km. Tapi kami di lansir saat
itu menggunakan motor puskesmas. Finally,
kami sampai di kampung Amuan. Masyarakat mulai datang berbondong menyaksikan
kedatangan kami. Mereka sangat senang. Besok kami akan memulai pelayaan
posyandu, penyuluhan disekolah dan senam sehat sebelum melanjutkan perjalanan
kami ke kampung berikutnya.
Melihat wajah-wajah bahagia mereka melihat kedatangan kami,
dan merasakan pelukan mama-mama disini, seketika rasa lelah yang awalnya
berkecamuk hilang seketika.
***Niat posting di 1 tahun awal penugasan, tapi krna ga ada sinyal. bisa post sekarang . haha